Hard News

Sejarah Gempa Tsunami di Laut Maluku

Sosial dan Politik

18 November 2019 23:58 WIB

Ilustrasi.

JAKARTA - Gempa Laut Maluku bermagnitudo (M) 7,1 pada 14 November 2019 menjelang tengah malam berpusat di dalam lempeng Laut Maluku. Para ahli menyebut gempa semacam ini sebagai gempa intraslab. Zona gempa Laut Maluku terletak di antara Busur Sangihe dan Halmahera.

Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, zona gempa itu membentang berarah utara-selatan yang didasari oleh zona subduksi ganda (double subduction). Penunjaman lempengnya ke bawah Pulau Halmahera di sebelah timur dan ke bawah Busur Sangihe di sebelah barat.



Zona subduksi ini membentuk kemiringan ganda yang tidak simetris. "Slab lempeng Laut Maluku di bawah Busur Sangihe menerus hingga di kedalaman 600 kilometer," katanya, Jumat lalu. Sedangkan di bawah Busur Halmahera, slab lempeng-nya relatif lebih dangkal yaitu di kedalaman sekitar 300 kilometer.

Subduksi ganda ini terbentuk akibat tekanan lempeng Laut Filipina dari timur di zona Halmahera. Sementara dari barat, lempeng Sangihe relatif mendorong ke timur. Akibat dorongan ini, kata Daryono, terbangun akumulasi medan tegangan (stress) produk gaya kompresi pada batuan kerak samudera di bagian tengah Zona Tumbukan Laut Maluku (Molucca Sea Collision Zone).

Di zona itu terbentuk jalur Punggungan Mayu (Mayu Ridge) yang ditandai dengan keberadaan Pulau Mayu. Akumulasi medan tegangan di sepanjang jalur Punggungan Mayu itu yang pada akhirnya memicu terjadinya dislokasi batuan dalam lempeng.

Di zona itu terdapat banyak sebaran pusat-pusat gempabumi dengan mekanisme sesar naik, seperti gempa kuat 14 November lalu dan memicu tsunami kecil.

Mengapa tsunami yang terjadi hanya tsunami kecil padahal kekuatan gempanya M=7,1? Menurut Daryono karena gempa dengan slip yang relatif dalam, membuat tsunami lebih kecil jika dibandingkan dengan slip yang terjadi di kedalaman lebih dangkal.

Selain itu energi akibat kompresi yang terjadi pada salah satu slab lempeng tidak seluruhnya terakumulasi di zona gempa. "Tetapi juga disebarkan ke bagian slab lempeng pada zona subduksi di sebelahnya."

Kondisi ini berbeda dengan sistem tektonik di zona subduksi pada umumnya. Energi yang terakumulasi di zona gempa hanya terkonsentrasi pada satu slab lempeng sehingga potensi gempa yang dapat memicu tsunami menjadi lebih besar. Namun demikian, secara umum kawasan Laut Maluku tetap merupakan zona rawan gempa dan tsunami yang patut diwaspadai.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa kawasan Laut Maluku beberapa kali terjadi gempa kuat dan merusak. Gempa Sangir 1 April 1936 tergolong gempa dahsyat yang pernah terjadi di zona ini, karena guncangannya mencapai skala intensitas VIII - IX MMI yang merusak ratusan rumah.

Selain itu, Gempa Pulau Siau pada 27 Pebruari 1974 juga memicu longsoran dan kerusakan banyak rumah di berbagai tempat. Kemudian Gempa Sangihe-Talaud pada 22 Oktober 1983 yang merusak banyak bangunan rumah.

Zona sumber gempa Laut Maluku juga memiliki catatan sejarah tsunami destruktif, seperti Tsunami Banggai-Sangihe 1858 yang menyebabkan seluruh kawasan pantai timur Sulawesi, Banggai, dan Sangihe dilanda tsunami. Kemudian Tsunami Banggai-Ternate 1859 mengakibatkan banyak rumah di pesisir disapu tsunami, Gempa Kema-Minahasa 1859 juga memicu tsunami setinggi atap rumah-rumah penduduk, dan Tsunami Gorontalo 1871 menerjang di sepanjang pesisir Gorontalo.

Tsunami Tahun 1889 menerjang kawasan pesisir Tahuna setinggi 1,5 meter, Tsunami Kepulauan Talaud 1907 menerjang pantai setinggi 4 meter, dan Tsunami Salebabu 1936 menyapu pantai setinggi 3 meter. #teras.id

(wd)