Serba serbi

2 Alasan Pentingnya Vaksin Covid-19 Menurut Dokter Paru

Kesehatan

23 Januari 2021 13:54 WIB

Ilustrasi.

JAKARTA, solotrust.com- Ada dua alasan vaksin Covid-19 penting. Hal itu dijelaskan oleh dokter spesialis paru RSA UGM, Astari Pranindya Sari.

Pertama, fakta kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat dengan jumlah kasus positif tercatat lebih dari 900 ribu. Hal itu juga didukung dengan fakta-fakta lain, seperti persentase kematian dan angka rata-rata positif di Indonesia yang melebihi standar rata-rata di dunia.



Kedua, kondisi kenaikan ini, baik kasus positif dan mortalitas, terjadi bukan tanpa obat. Meskipun obat bagi pasien positif Covid-19 sudah banyak di Indonesia, mortalitas pasien tetap saja naik.

Dari hal tesebut, Astari menyebut pihaknya memutuskan untuk kembali ke prinsip awal, yakni mencegah lebih baik daripada mengobati. Dari pencegahan itulah posisi vaksin menjadi penting, tentunya hal itu diiringi dengan upaya pencegahan lain, seperti 3M dan 3T.

“Kesemuanya berkesinambungan dan tidak bisa berdiri sendiri,” jelasnya dalam bincang virtual "Ngobrol Seputar Vaksin" pada Kamis (21/1/2021).

Terkait adanya penolakan dan protes dari sebagian masyarakat terkait vaksin, Astari mengungkapkan keprihatinannya. Ia menyebut vaksin bisa eksis dan didistribusikan sampai sekarang itu perjalanannya panjang, dari uji laboratorium dengan objek hewan, kemudian berlanjut ke uji klinis yang terbagi ke dalam tiga fase, hingga terakhir keluarlah persentase efikasi.

Astari menyebut efikasi itu ada syaratnya juga. Dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), syarat efikasi untuk vaksin ini minimal 50 persen dan harus melewati minimal sampai uji klinis fase ketiga. Uji klinis yang dipimpin oleh Prof. Kusnadi Rusmil di Bandung itu mencapai angka 65,3 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari syarat WHO karena itu dapat perizinan EUA dari BPOM.

“Dari proses tersebut, saya harap masyarakat paham bahwa ini berangkat dari usaha untuk pencegahan dan dilakukan dengan sangat serius. Mungkin ada masyarakat yang berpendapat bisa membangun antibodi dengan terkena virus dulu. Namun, ini dari segi kedokteran tidaklah etis karena sudah ada upaya pembuatan vaksin. Selain itu, prosesnya juga membahayakan. Oleh karenanya, kita berharap masyarakat dapat menerima dan mendukung vaksin ini,” ujarnya.

Kemudian, terkait pemilihan vaksin Sinovac dibanding lainnya, Astari menyebut karena vaksin tersebut lebih stabil. Ia menyebut secara prinsip sebenarnya kurang lebih sama karena yang disasar adalah pembentukan antibodi terhadap Protein S pada virus.

Namun, untuk Sinovac prosesnya dengan menggunakan virus yang telah dimatikan. Sementara untuk lainnya, seperti Pfizer dan Moderna yang memodifikasi DNA virus tanpa mematikannya, lebih tidak stabil walaupun efikasinya lebih tinggi.

“Ketidakstabilan itu merujuk pada untuk menyimpan vaksin diperlukan suhu minus sekian. Kemudian meneruskan informasi dari BPOM, di Amerika ada kasus penggunaan vaksin ini menyebkan Serious Adverse Event atau situasi fatal terhadap pasien. Sementara untuk Sinovac yang telah melewati uji klinis fase 3 di Indonesia belum pernah menemukan kasus serupa,” ungkapnya.

Terakhir, mengenai kemungkinan mutasi virus berdampak pada efektivitas vaksin, Astari berpesan agar masyarakat tidak perlu khawatir. Hal itu karena informasi terhadap mutasi selama ini masih minim dan tidak jelas mutasi tersebut terjadi pada bagian virus yang mana.

 “Vaksin yang ada sekarang bekerja untuk memblok Protein S yang bentuk dan beroperasinya seperti tangan dari virus tersebut. Selama mutasi yang terjadi tidak pada tangan tersebut, semisal pada badannya, maka antibodi dari vaksin tetap bisa membloknya,” ujarnya. #teras.id

(wd)