Hard News

Komunitas Pers Minta Kapolri Cabut Pasal 2d dalam Maklumatnya

Sosial dan Politik

02 Januari 2021 20:35 WIB

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menggelar konferensi pers penerbitan maklumat terkait penghentian kegiatan Front Pembela Islam (FPI), Jumat (01/01/2020). (Dok. Istimewa)

JAKARTA, solotrust.com - Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) mengeluarkan maklumat Nomor: Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI), ditandatangani 1 Januari 2021.

Polri beralasan, maklumat ini untuk memberikan perlindungan dan menjamin keamanan serta keselamatan masyarakat pascadikeluarkan keputusan bersama tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut serta penghentian kegiatan FPI.



Kegiatan FPI dilarang berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor: 220- 4780 Tahun 2020; M.HH 14.HH.05.05 Tahun 2020; 690 Tahun 2020; 264 Tahun 2020; KB/3/XII/2020; 320 Tahun 2020 tanggal 30 Desember 2020 tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI.

Ada empat hal disampaikan dalam maklumat, salah satunya tak sejalan dengan semangat demokrasi yang menghormati kebebasan memperoleh informasi. Selain itu juga bisa mengancam jurnalis dan media yang tugas utamanya adalah mencari informasi dan menyebarluaskannya kepada publik.

Salah satu isi maklumat, tepatnya di Pasal 2d, isinya menyatakan asyarakat tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI, baik melalui website maupun media sosial. Menyikapi maklumat di pasal 2d, komunitas pers menyatakan sikap:

1. Maklumat Kapolri dalam Pasal 2d cenderung berlebihan dan tidak sejalan dengan semangat sebagai negara demokrasi yang menghargai hak masyarakat untuk memperoleh dan menyebarkan informasi. Soal ini tertuang jelas dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

2. Maklumat ini mengancam tugas jurnalis dan media yang karena profesinya melakukan fungsi mencari dan menyebarkan informasi kepada publik, termasuk soal FPI. Hak wartawan untuk mencari informasi itu diatur dalam Pasal 4 Undang Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang isinya menyatakan, "(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi."

Isi maklumat itu akan memproses siapa saja yang menyebarkan informasi tentang FPI, juga bisa dikategorikan sebagai "pelarangan penyiaran", di mana itu bertentangan dengan pasal 4 ayat 2 Undang Undang Pers.

3. Mendesak Kapolri mencabut pasal 2d dari maklumat karena mengandung ketentuan yang tak sejalan dengan prinsip negara demokrasi, tak senapas dengan UUD 1945, dan bertentangan dengan Undang Undang Pers.

4. Mengimbau pers nasional untuk terus memberitakan pelbagai hal menyangkut kepentingan publik seperti yang sudah diamanatkan Undang Undang Pers.

Pernyataan sikap ini diserukan sejumlah tokoh pers, di antaranya Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S Depari, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Hendriana Yadi, Sekretaris Jenderal Pewarta Foto Indonesia (PFI) Hendra Eka, Ketua Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred) Kemal E Gani, dan Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut.

(redaksi)