Hard News

Bawaslu Minta Pengawasan Medsos Lebih Jeli, Pembuat Kampanye Hitam Bisa Ditindak

Sosial dan Politik

22 Oktober 2020 10:31 WIB

Ilustrasi (Pixabay)

JAKARTA, solotrust.com - Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Fritz Edward Siregar meminta pengawasan media sosial (Medsos) harus lebih jeli. Menurutnya dalam menangani pelanggaran di medsos perlu berdiskusi dengan berbagai pihak, sehingga bisa dipastikan apakah masuk dalam ranah pelanggaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau bukan.

Fritz Edward Siregar mengungkapkan, pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019, dia melihat banyak konten medsos yang dibuat-buat seolah isinya milik salah satu pasangan calon (Paslon). Padahal ketika dikonfirmasi adalah bentuk kampanye hitam atau hoax semata.



"Jadi harus kita lihat percakapan yang terjadi di medsos merupakan sebuah genuine (asli-red) atau fabricated (buatan-red). Jadi, itu yang menurut saya harus dibedakan," ujarnya dalam diskusi online atau dalam jaringan (Daring) bersama Perludem, dilansir dari laman resmi Badan Pengawas Pemilihan Umum, bawaslu.go.id, Kamis (22/10/2020).

Pria kelahiran Medan ini mengimbau semua pihak dapat lebih hati-hati dalam melihat suatu konten medsos berupa tindakan politik secara individual. Langkah penanganan pelanggaran bisa dilakukan jika seseorang memprovokasi atau 'menunggangi' suatu obrolan di medsos.

"Kita jangan lupa, medsos menjadi hak masyarakat untuk bisa berbicara dan itu harus dilindung. Tinggal sekarang kita lihat apakah pembatasan yang berisiko itu apa karena risiko yang masyarakat berdiskusi yang kita lihat. Atau tindakan-tindakan individual yang sengaja men-drive percakapan itu terjadi," sebut Fritz Edward Siregar.

"Kalau itu sengaja diciptakan (konten hoax/kampanye hitam) dan menurut saya itu kejahataan yang bisa kita tindak karena men-drive opini yang muncul di publik. Itu saya rasa PR yang harus kita lihat supaya tidak terjadi kembali," tambah dia.

Fritz pun menyampaikan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, berdasarkan hasil laporan masyarakat yang diterima, hampir 90 persen terdapat dugaan pelanggaran soal pelanggaran protokol kesehatan (Prokes).

(redaksi)