Pend & Budaya

Di Perbukitan Jabalkat Bayat Klaten, Sunan Pandanaran Beristirahat

Pend & Budaya

8 Agustus 2020 08:09 WIB

Gapura candi di kompleks makam sunan tembayat.

Solotrust.com- Tanah Jawa banyak menyimpan berbagai cerita. Banyak orang-orang besar yang pernah singgah dan hidup pada masanya untuk menyebarkan kebaikan namun ada pula yang menebarkan ancaman hingga terjadi pertumpahan darah.

Salah satu tempat yang mempunyai nilai penting untuk penyebaran sebuah kebaikan ialah di daerah Bayat Klaten. Di sinilah pada zaman dahulu terdapat salah seorang penyebar agama Islam yang cukup termasyur dan hidup serta dimakamkan di perbukitan Jabalkat Bayat Klaten. Dia sering dikenal dengan nama Susuhunan Tembayat atau Sunan Pandanaran atau Sunan Bayat.



Berbagai sumber yang berhasil dikumpulkan menyebutkan bahwa Sunan Pandanaran atau Susuhunan Tembayat atau Pangeran Mangkubumi diyakini hidup pada zaman Kasultanan Demak (abad-16), dari ayah seorang Bupati yang berada di Semarang, yakni Ki Ageng Pandan Arang. Setelah ayahnya lengser, Pangeran Mangkubumi kemudian menggantikan kedudukan dari ayahnya sebagai Bupati kedua Semarang.

Pada masa pemerintahan awal, Pangeran Mangkubumi dapat memerintah sesuai dengan ajaran-ajaran agama, namun lama kelamaan terjadilah perubahan dalam memerintah.

Mengetahui ada yang janggal dan berubah dalam pemerintahan Pangeran Mangkubumi maka diutuslah Sunan Kalijaga dari Kadilangu Demak oleh Kerajaan Demak Bintoro untuk menyadarkannya. Seusai bertemu dengan Sunan Kalijaga, Pangeran Mangkubumi kemudian tertarik untuk mendalami ilmu agama dan melepas keduniawian.

Akhirnya Pangeran Mangkubumi melepas jabatannya yang kemudian memberikannya kepada sang adik. Sedangkan Pangeran Mangkubumi memutuskan untuk melakukan perjalanan dan menyebarkan ilmu agama ke arah selatan dan menetap di perbukitan

Menurut Babad dan cerita rakyat dikisahkan tentang perjalanan Sunan Pandanaran menuju ke Bukit Tembayat yang di tengah jalan menemukan berbagai rintangan.

"Dalam perjalanan ke daerah selatan (Bayat dan sekitarnya) rombongan Ki Ageng Pandanaran dicegat oleh ketiga penyamun. Salah seorang penyamun diubah kepalanya menjadi domba, setelah bertobat ia dibebaskan dari kutukan dan menjadi pengikut setia Ki Ageng Pandanaran. Peristiwa ini terjadi di daerah yamg kemudian bernama Salatiga. Berdasar pada kata salah tiga yang artinya tiga orang bersalah." bunyi sebuah cerita rakyat tentang penamaan beberapa daerah termasuk salah satunya Salatiga.

Di daerah Bayat, Sunan Pandanaran akhirnya menetap serta mensiarkan agama Islam hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di perbukitan Jabalkat Bayat Klaten.

Di dalam Kompleks Pemakaman Tembayat terdapat beberapa bangunan yang dibangun Masjid serta beberapa gerbang berbentuk candi yang tercatat tahun nilainya seperti misalnya pada Gapura Segara Muncar yang bernilai tahun 1448 Saka atau 1526 Masehi.

Pada Babad Nitik Sultan Agung disebutkan bahwa, "Sultan Agung memiliki peran yang cukup besar dalam perbaikan kompleks makam, salah satunya dengan memerintahkan untuk memperbaiki makam Sunan Tembayat pada tahun 1620." bunyi Babad tersebut.

Selain berbagai macam bangunan bersejarah pada jaman dahulu, di area pemakaman Sunan Tembayat, juga tersapat makam-makam dari para kerabat dan pengikut Sunan Pandanaran.

Sementara itu untuk mencapai makam dari Sunan Pandanaran sendiri, para pengunjung harus mendaki ratusan anak tangga karena makamnya sendiri berada di ketinggian kurang lebih 860 m dsri permukaan laut.

Sunan Pandanaran sendiri merupakan seorang tokoh yang sangat disegani dan dihormati oleh penduduk sekitar karena keramahan dan kerendahan hatinya serta kepiawaian dirinya dalam menyebarkan agama Islam.

Seorang tokoh besar namun tidak dengan secara sengaja menampakkan kebesaran dirinya melainkan kerendahan hati yang ditampilkan dalam bertutur kata serta bertingkah laku dan suka menolong sehingga banyak orang yang terkesan dengan sifat dan karakter dari diri seorang Sunan Pandanaran dan bisa dijadikan contoh dalam bersikap oleh para generasi penerusnya. (dd)



(wd)