Ekonomi & Bisnis

Penyesuaian Iuran Per 1 Januari 2020, PBI Dibayar Pemerintah Utuh, PPU Hanya 1%

Ekonomi & Bisnis

10 Desember 2019 09:51 WIB

Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Cabang Surakarta Bimantoro

SOLO, solotrust.com - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Cabang Surakarta menggelar media gathering membahas keputusan pemerintah terkait penyesuaian iuran Jaminan Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang segera berlaku per 1 Januari 2020 di ruang rapat kantor setempat, Sumber, Banjarsari, Solo, Senin (09/12/2019).

Dalam aturan baru yang tertuang Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. terkait iuran, untuk kategori peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) yang berlaku mulai 1 Januari 2020 untuk Kelas III dari Rp 25.000 menjadi Rp 42.000, Kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, dan Kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.



Dijelaskan  Kepala BPJS Kesehatan Cabang Surakarta, Bimantoro, peserta segmen penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah (Pemda) besaran penyesuaian iuran Rp 42.000/jiwa sudah berlaku sejak 1 Agustus 2019, pemerintah pusat memberikan bantuan pendanaan iuran kepada Pemda sebesar Rp 19.000/orang/bulan hingga Desember 2019 sehingga Pemda tetap membayar Rp 23.000, kemudian per 1 Januari 2020 seluruh besaran iuran Rp 42.000/jiwa/bulan seluruhnya dianggarkan dan dibayarkan oleh Pemda melalui APBD.

“Sebenarnya kurang pas kalau dikatakan dinaikkan, tapi memang naik, namun sebenarnya itu adalah penyesuaian, kenaikan itu harga normal dinaikkan, lha ini harganya tidak normal. Sebenarnya misal kelas 3 itu kan Rp 42.000 sebenarnya perhitungan secara ilmiah dari Dewan Jaminan Sosial Nasional nominalnya lebih dari Rp 42.000 itu, kemarin ditetapkan Rp 25.000, ini disesuaikan karena tidak lebih dari limit perhitungan ilmiah, dampak penyesuaian ini adalah keberlangsungan program JKN-KIS, serta perbaikan layanan di fasilitas kesehatan,” terangnya.

Bimo lantas tidak setuju apabila ada pihak yang menuding jaminan kesehatan seharusnya menjadi kontribusi pemerintah seutuhnya. Ia mengklaim beban ditanggung pemerintah terhadap program JKN-KIS ini lebih dari 59 persen peserta dari total 221 juta jiwa peserta JKN KIS, terdiri atas lebih 96,8 juta jiwa dikaver APBN dan lebih dari 37,3 juta jiwa dikaver APBD.

Sementara itu, selama program JKN-KIS juga terjadi peningkatan jumlah fasilitas kesehatan karena dinilai banyak menguntungkan masyarakat. Penyerapan tenaga kesehatan di FKTP pada 2018 mencapai 43.189 dokter umum, 14.086 dokter gigi, 6.063 apoteker, 94.039 bidan, dan 59.465 perawat.

Jumlah FKTP meningkat dari 2017 sebanyak 21.763 dan pada 2018 meningkat menjadi 23.298. Termasuk jumlah rumah sakit bekerjasama dengan BPJS juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, seperti di 2014 sebanyak 1.681, 2015 sebanyak 1.847, 2016 sebanyak 2.068, 2017 sebanyak 2.268, 2018 sebanyak 2.455, dan pada 2019 per 25 Oktober 2019 sebanyak 2.522.

“Ini pola pikir selalu ada pro kontra wajar saja. Kita sudah melalui beberapa tahapan sejak diundangkan dan ini memang besar manfaatnya. Saya tanya yang kontra, apa tidak kasihan, apa tidak pernah sakit, nanti kalau sakit apa tidak kesulitan, khususnya bagi kelas 3 itu yang bayar pemerintah lebih banyak,” ungkapnya.

Bimo menyarankan, sebaiknya pihak yang kontra iuran BPJS bisa berdiskusi bersama beberapa pihak terkait sesuai prosedur melalui suatu forum. Dirinya juga mengungkapkan ketidaksepahaman terhadap kata defisit BPJS karena sejatinya yang terjadi adalah mismatch.

“Iuran yang ditetapkan Perpres di bawah perhitungan ilmiah aktuaria, defisit itu konotasinya negatif, tidak bisa mengelola, ini beda, padahal jaminannya luas, benefit banyak. Saya tegaskan, penetapan penyesuaian itu ya bukan BPJS lagi, itu pemerintah. Negara hadir 59 persen lebih peserta itu supporting by pemerintah, kalau kontribusi nominal rupiah lebih dari 73 persen subsidi pemerintah,” bebernya.

“Selain yang PBI tadi, pemerintah juga bayar, semisal untuk segmen PNS, TNI/Polri dulu dipotong gajinya 2 persen, subsidi pemerintah 3 persen. Sekarang dipotong cuma 1 persen, subsidi pemerintah 4 persen, kurang baik apa sebenarnya pemerintah,” sambung Bimo.

Sementara itu, terkait penyesuaian batas atas gaji/upah sebagai dasar perhitungan iuran peserta PPU (Pegawai Penerima Upah) ada perubahan. Jika sebelumnya dalam ketentuan lama batas paling tinggi gaji atau upah per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran iuran bagi peserta PPU adalah Rp 8 juta, maka dalam ketentuan baru adalah Rp 12 juta.

“Penyesuaian iuran BPJS Kesehatan berdampak pada likuiditas, cashflow faskes terjaga, pertumbuhan investasi faskes (ruang rawat, peralatan, IT), hingga kepuasan peserta secara berkesinambungan,” pungkas dia. (adr)

(redaksi)