Ekonomi & Bisnis

Soal Mekanisme Sertifikasi Halal, Kemenag Solo Tunggu Instruksi Pusat

Ekonomi & Bisnis

25 Oktober 2019 11:39 WIB

Kemenag Solo.


SOLO, solotrust.com - Kewenangan untuk menerbitkan sertifikat halal tidak lagi ada pada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia atau yang disebut LPPOM MUI melainkan langsung di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI). Regulasi tersebut secara resmi mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2019.



LPPOM MUI adalah lembaga yang bertugas kuat untuk meneliti, mengkaji, menganalisis dan memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan dan produk kosmetika apakah aman dikonsumsi, baik dari sisi kesehatan dan dari sisi pengajaran agama Islam, yakni halal atau boleh dan baik untuk dikonsumsi bagi umat muslim khususnya di wilayah Indonesia, selain itu memberikan rekomendasi, merumuskan ketentuan dan bimbingan pada layanan masyarakat. Lembaga ini didirikan atas keputusan mendukung MUI berdasarkan surat keputusan perizinan nomor 018/MUI/1989, pada tanggal 6 Januari 1989.

Penyelenggara (Gara) Syariah Kemenag Solo, Achmad Arifin menjelaskan, kewenangan LPPOM MUI untuk menerbitkan seritifkat halal terhadap suatu produk tentu tidak berlaku lagi sejak Kamis 17 Oktober 2019 sesuai dengan amanat Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), dimana seluruh produk di Indonesia wajib berseritifkat halal dan untuk mengeluarkan seritifikat halal dibentuklah Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang menjadi salah satu unit eselon 1 di Kemenag.

"Sehingga kewenangan menerbitkan seritifkat halal atau bahkan mencabutnya ini di bawah Kemenag. Sebagaimana bunyi pasal 5 ayat 3 UU tentang jaminan produk halal tadi," paparnya pada solostrust.com, Senin (21/10/2019).

Dalam UU JPH tersebut BPJPH mulai bekerja menerbitkan sertifikat halal setelah 5 tahun UU JPH diundangkan. UU JPH sendiri disahkan oleh Presiden ke 6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, dan diundangkan Menkumham Amir Syamsudin pada 17 Oktober 2014. Artinya mulai Kamis 17 Oktober 2019 UU JPH memasuki usia 5 tahun dan ketentuan itu diatur di pasar 67 ayat 1 yang berbunyi kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperolehkan di Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 berlaku terhitung sejak 5 tahun setelah diundangkan.

Dihapuskannya kewenangan menerbitkan sertifikat halal ini sempat membuat MUI menggugat sejumlah pasal yang terdapat pada UU JPH ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 4 agustus 2019. LPPOM MUI minta MK menghapus pasal yang mengatur keberadaan BPJPH di UU tersebut. Namun akhirnya LPPOM MUI menarik gugatan pada 20 September 2019 dengan alasan yang tidak diketahui. BPJPH yang diresmikan Menag saat ini, Lukman HAkim Syaifudin, pada 17 oktober 2099 bisa bernafas lega.

Lantas apa MUI tidak dilibatkan dalam sertifikasi halal? Arifin memaparkan, saat meresmikan BPJPH Menag mengatakan bahwa peran MUI tetap penting meski tidak lagi berwenang menerbitkan sertifikat halal. Tapi MUI punya peranan di dalamnya dimana ada 3 peran MUI dalam penerbitan sertifikat halal.

Pertama sebelum mengeluarkan seritifkat halal BPJPH terlebih dahulu meminta fatwa halal MUI. Kedua, MUI dberikan kewenangan mengeluarkan akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dalam UU JPH yahg dibentuk atas inisiasi pemerintah dan atau masyarakat. Fungsi LPH membantu BPJPH untuk memeriksa dan menguji kehalalan produk. Ketiga, auditor-auditor halal yang diangkat LPH harus mendapat seritifkat dari MUI.

Meski terjadi perubahan regulasi di tingkat pusat soal penerbitan sertifikat halal, Arifin mengaku pemberlakuan perundang-undangan itu belum diterima di tingkat kabupaten/kota. Bahkan di tahun ini pula dengan PMA No. 19 tahun 2019 tentang nomenklatur Kemenag berubah, nantinya Gara Syariah akan menjadi Zawa yang hanya mengurus zakat dan waqaf saja, tidak lagi mengurusi produk halal.

"Dan untuk teknisnya nanti seperti apa kita menunggu dari kemnag pusat untuk kita laksanakan," ujarnya. (Rum)

(wd)