Pend & Budaya

Teater Lungid Sajikan Monolog Amangkurat I

Pend & Budaya

26 Oktober 2019 08:24 WIB

Djarot BD menampilkan monolog berjudul Puncak Waktu Yang Menghitam.


Solotrust.com- “Aku merasa gelisah dalam kembara resah. Aku juga merasa rentan dengan kuasaku yang geram. Aku selalu mencari sesuatu yang jauh, sedangkan yang dekat selalu kuabaikan. Aku juga lupa bahwa aku tidak bersayap. Untuk terbang meninggalkan perasaanku yang takut, dari lingkungan yang kuciptakan. Jadi kungkungan yang kurasakan. Hmmm auuuu eeee . Matahari pun bersinar terik. Di puncak waktuku yang menghitam.“ Demikianlah syair senandung sesosok laki – laki tinggi besar membawa sebilah keris besar yang muncul dari sebuah gua, diterangi lampu temaram dan kepulan asap membumbung tinggi memenuhi lorong dalam gua tersebut, seakan menggiring penonton ke sebuah kepekatan rasa akan sebuah kekalutan yang dirasakan laki – laki yang kemudian diketahui sebagai sosok Raja Mataram Islam, Amangkurat I.



Sebuah monolog apik berdurasi hampir satu jam itu dibawakan oleh Teater Lungid dengan aktor kawakan Djarot B.Darsono pada Selasa (22/10/2019) malam di Balai Soedjatmoko Surakarta. Dengan mengusung judul naskah ‘Puncak Waktu Yang Menghitam’ karya Budi Bodot Riyanto & Djarot B.Darsono. Djarot menggambarkan sesosok raja Amangkurat I ketika dalam kekalutan dan kerisauan yang membuncah pada dirinya.

Sebelum monolog dimulai, sebuah sajian Bedhaya Tolu ditampilkan di beranda Balai Soedjatmoko. Bedhaya Tolu ini merupakan tarian bedhaya yang disusun oleh Agus Tasman Ronoatmodjo, serta gendhing disusun oleh Martapangrawit. Bedhaya Tolu ini berbeda dengan tarian bedhaya lainnya karena ditarikan oleh tujuh penari bukan Sembilan penari seperti layaknya tari bedhaya lainnya.

Djarot yang juga sebagai sutradara pementasan sengaja memasukkan tari bedhaya di awal pertunjukan sebelum monolog dimulai, sebagai gambaran akan kejayaan Amangkurat I sebelum kemudian penonton diajak untuk melihat monolog tentang kekelaman atau sisi kerapuhan dari seorang amangkurat I yang mulai surut kekuasaannya dengan pelariannya.

“Ini seperti perjalanan sejarah.Tiba-tiba proyeksi Keraton yang megah kemudian memproyeksi ke sebuah masalah pelarian.” Ungkap Djarot ketika ditemui Solotrust sehari setelah pementasan di Rumah Banjarsari.

Djarot juga menambahkan alasan tentang kisah Amangkurat I saat pelarian dan kekalutannya. “Saya mengambil topik yang sederhana. Seorang yang cengeng, mempunyai kelainan dengan menyukai perempuan yang lebih tua.” Ungkapnya.

Djarot tidak ingin mengangkat kisah Amangkurat I tentang sejarah-sejarah kegagahan dan keperkasaannya, tentang penaklukan dan keperkasaan, karena menurut Djarot hal itu sudah ada yang menulisnya dan lebih bagus buku – buku yang sudah ada dengan riset yang sudah panjang tersebut.

Djarot lebih tertarik mengangkat kisah Amangkurat I yang lebih sangat manusia. “Dimana dia tiba – tiba dalam keterpurukannya. Tiba-tiba ingat semuanya yang telah dilakukan.” papar Djarot.

“Kenapa tertarik mengambil keterpurukannya? Karena waktu terpuruk bisa flashback untuk cerita ke masa lalu. Bukan dalam perjalanannya. Bagaimana seseorang Amngkurat ini menceritakan dirinya. Menceritakan kejujurannya yang dirinya kejam, bermain perempuan, ya ditipu oleh anaknya sendiri, konflik – konflik keluarga yang selalu ada. Itulah yang dicoba untuk diangkat.” Tambha Djarot.

Untuk mementaskan monolog ini Djarot juga melakukan riset dengan membaca buku dan bertanya kepada orang – orang yang mengetahui tentang kisah Amangkurat I. Sebelumnya Djarot bersama dengan Teater Lungid juga pernah mementaskan teater tentang Amangkurat I dengan naskah karya Goenawan Muhammad. Namun kali ini dia tergelitik dan tergoda untuk menulis kembali naskah Amangkurat I bersama partner setianya Budi Bodot yang kemudian mementaskannya ke dalam pergelaran monolog. (dd)

(wd)