Pend & Budaya

Upacara Sekaten Sebagai Syiar Penyebaran Agama Islam

Pend & Budaya

20 Oktober 2019 14:02 WIB

Gunungan dalam grebeg maulud sebagai simbol kesejahteraan kerajaan Mataram.


Solotrust.com- Di kota Solo dan Yogyakarta dikenal dengan adanya perayaan Sekaten. Perayaan ini biasanya diawali dengan maleman sekaten, dimana untuk menyambut perayaan sekaten tersebut, akan banyak sekali pedagang berjualan di alun – alun kedua kota tersebut. Tidak hanya jualan makanan, namun juga berjualan semacam gerabah, mainan dan masih banyak lagi.



Sekaten sendiri berasal dari adaptasi kata dalam Bahasa Arab syahadatain yang berarti “persaksian (syahadat) yang kedua.” Namun demikian perluasan dari makna kata sekaten pun banyak sekali dan bisa dikaitkan dengan Sahutain, yaitu menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng, Kemudian juga bisa dikaitkan dengan Sakhatain yang berarti perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, lalu Sakhotain yang artinya menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan, lalu juga bisa dikaitkan dengan Sekati yang berarti setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk, dan juga Sekat artinya batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.

Sekaten sudah ada semenjak zaman Kerajaan Demak. Fungsi dari Sekaten salah satunya ialah untuk menyiarkan agama Islam. Karena pada saat itu masyarakat Jawa sangat senang sekali dengan bunyi – bunyian gamelan dan pada hari peringatan lahirnya Nabi Muhammad dimainkanlah gamelan di halaman Masjid Agung Demak, sehingga rakyat yang saat itu senang gamelan bisa datang berbondong – bondong memenuhi halaman Masjid untuk mendengarkan alunan tabuhan gamelan, beserta dengan khutbah – khutbah ajaran – ajaran agama Islam.

Pada hari pertama, upacara akan diawali dengan arak – arakan para abdi dalem yang membawa dua set gamelan Jawa, yakni Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Kedua set gamelan itu dibawa dari dalam Keraton menuju Masjid Agung yang terletak di dekat Alun – Alun Utara. Gamelan akan dimainkan secara 7 hari berturut – turut. Lalu pada malam terakhir akan dibawa kembali ke dalam Keraton.

Untuk puncak dari Sekaten sendiri diadakan Grebeg Muludan. Dalam Grebeg Muludan biasanya akan ada gunungan yang berisi berbagai macam makanan dan hasil bumi yang nantinya akan dibawa ke Masjid Agung dari dalam Keraton. Setelah dilakukan berbagai macam ritual doa, gunungan yang merupakan sebagai simbol kesejahteraan Kerajaan Mataram Islam itu pun dibagi kepada rakyat. Rakyat yang sudah antusias menunggu, berebut gunungan itu. Sebab dipercaya akan membawa berkah.

Dua hari sebelum acara puncak Grebeg Muludan, biasanya diadakan upacara Numplak Wajik, yakni upacara yang dilakukan dengan membunyikan kotekan dari berbagai macam benda yang berupa kentongan dan lumping sebagai pertanda sedang dibuatnya gunungan yang akan digunakan untuk upacara Grebeg Mauludan nantinya. (dd/berbagai sumber)

(wd)