Hard News

Konflik Keraton, Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Dewan Adat Keraton Surakarta Angkat Bicara

Jateng & DIY

7 September 2019 11:36 WIB

Putri Raja PB XII GKR Koes Moertiyah Wandansari dan Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Dewan Adat Keraton Surakarta KPH Eddy S Wirabhumi. (Dok : solotrust.com)

SOLO, solotrust.com - Polemik internal  di kalangan keturunan trah Mataram Surakarta, belum juga mereda. Belakangan ini, beredar pula surat pengosongan sebuah bangunan yang berada di kawasan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Padahal, selama ini, bangunan tersebut juga ditempati para Sentono (Keturunan PB XII) yang berada di Lembaga Dewan Adat (LDA).

Baca: Panas Keraton, Gusti Puger Harapkan Ada Rembugan, Rudy: Pemkot Tak Ikut Campur



Menyusul munculnya surat perintah pengosongan bangunan di lahan keraton itu, keluarga trah Mataram yang berada di Lembaga Dewan Adat pun bereaksi. Pihaknya menyebut bahwasanya Sinuhun Pakubuwono XIII telah lupa kepada siapa yang mendukung Hangabehi menjadi penerus Raja Keraton Kasunanan ke XIII.

Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Dewan Adat Keraton Surakarta, KPH Eddy S. Wirabhumi, memaparkan, sebelum Hangabehi diangkat menjadi penerus Raja di Keraton Kasunanan Surakarta, KGPH Tedjowulan-lah yang telah mendeklarasikan diri sebagai PB XIII.

"Bahkan kala itu pemerintah telah mengakui KGPH Tedjowulan sebagai PB XIII," papar Edy Wirabhumi kepada wartawan, Rabu (4/9/2019).

Namun, karena yang berhak menentukan siapa penerus Raja adalah para keterunan trah Mataram, maka disepakatilah Lembaga Dewan Adat. Dari kesepakatan seluruh trah Mataram, maka Hangabehi-lah yang diangkat sebagai PB XIII, bukan KGPH Tedjowulan.

Saat ditanya apakah LDA akan mencabut mandat pada Hangahebi, salah satu putri Raja PB XII GKR Koes Moertiyah Wandansari atau akrab disapa Gusti Moeng yang ikut mendampingi Wirabumi mengatakan menyerahkan sepenuhnya pada masyarakat adat itu sendiri.

"Saya serahkan lagi pada masyarakat adat yang dulu memberikan adat pada Sinuhun Hangahebi. Apakah akan mencabut mandat itu atau tidak, saya tidak bisa menjawabnya," terangnya.

Menyikapi surat pengosongan paksa  bangunan, Gusti Moeng mengaku sangat prihatin.

Pasalnya, di tengah proses penyatuan keluarga besar keraton oleh tim yang ditugaskan Presiden, munculnya surat pengosongan yang bisa mengkandaskan tekad trah kembali bersatu.

 "Yang pertama menerima surat (perintah pengosongan) tersebut adalah Gusti Timoer ( GKR Timoer Rumbai KDA). Saya, Gusti Moeng, dan banyak yang lainnya (dari kelompok LDA) belum menerima," ucapnya.

Sesuai arahan Presiden Joko Widodo yang disampaikan kepada Gusti Moeng, ungkap Wirabhumi, persoalan keraton agar diselesaikan dengan komperhensif, menyeluruh, dan melibatkan seluruh komponen. Sehingga, nantinya bisa saling mengisi, satu dengan yang lain.

"Saling mengisi itu lebih baik, daripada berbeda pendapat. Ini yang jadi pedoman sikap keluarga besar keraton dalam rangka mencari solusi persoalan. Sehingga kami memberi ruang seluas - luasnya kepada tim yang ditugaskan Bapak Presiden mencari formula penyelesaian," jelasnya

Wirabhumi mengatakan, konsekuensi dalam memberi ruang tersebut, dikatakan Wirabhumi, diibaratkan LDA tiarap dari aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan keraton. Meski begitu, LDA juga mendorong adanya proses penyelesaian yang komperhensif tersebut.

"Kalaupun ada proses hukum yang berjalan, itu adalah cara kami agar bisa bertemu untuk saling mengisi. Belajar dari perselisihan di masa lalu, toh pada akhirnya sepakat saling mengisi. Tidak ada tindakan yang justru mencederai (kesepakatan) itu," ujarnya.

Sementara itu, pihak Raja Keraton Surakarta  Paku Buwono (PB) XIII, Hangabehi melalui kuasa hukumnya, K.P.A.A. Ferry Firman Nurwahyu, menegaskan bahwanya surat yang dilayangkan oleh PB XIII Hangabehi kepada sejumlah keluarga Keraton tersebut tidak bertujuan mengusir, melainkan hanya untuk menertibkan.

Ferry pun mengatakan jika langkah yang diambil PB XIII dengan menertibkan masyarakat maupun badan hukum yang dianggap telah dianggap memanfaatkan aset keraton tanpa izin, merupakan tugas juga kewajiban PB XIII sebagai Sri Susuhunan (Raja) Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan bukan secara pribadi.

Terlebih penertiban tersebut, imbuh Ferry, sudah dilaksanakan sejak April 2017 dengan melibatkan ribuan personel Polda Jawa Tengah dan Polresta Surakarta. Dimana PB XIII meminta belasan orang termasuk adik-adik dan anak kandungnya untuk keluar dari Kompleks Keraton, lantaran dianggap menguasai Keraton dan merongrong kewibawaan PB XIII Hangabehi, selama empat tahun lebih, sehingga menyebabkan PB XIII tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

“Saat itu berhasil, Gusti Moeng (sapaan akrab G.R.Ay. Koes Moertiyah) dan kawan - kawan keluar,” ungkap Ferry kepada wartawan, Selasa (3/9/2019).

Ferry menambahkan, bahwa tak lama sesudahnya, Gusti Moeng dan sejumlah kerabat lain yang tergabung dalam Lembaga Dewan Adat menandatangani perjanjian damai dengan PB XIII. Dalam perjanjian itu, masih menurut Ferry, Lembaga Dewan Adat mengakui telah menguasai Keraton tanpa izin dan merongrong kewibawaan PB XIII sebagai raja, hingga akhirnya menyatakan pembubaran Lembaga Dewan Adat dan tidak akan menguasai aset Keraton lagi.

“Di dalam perjanjian damai itu juga terdapat butir yang menyatakan Gusti Moeng tidak akan menempati aset Keraton tanpa izin tertulis dari Sinuhun. Tapi mereka mengeyel dan tetap menempati sejumlah bangunan,” beber Ferry.

Bangunan dimaksud diantaranya Kantor Badan Pengelola Keraton Surakarta di depan Kori Kamandungan serta bangunan di barat Alun-alun Utara yang difungsikan sebagai kantor notaris dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

"Pemanfaatan bangunan tersebut dianggap melanggar perjanjian damai yang telah disepakati bersama antara LDA dan PB XIII.“ ucap Ferry.

Ferry menyebut penertiban bakal berlanjut dan tidak akan ditunda. Saat ini, penertiban masih menunggu langkah kepolisian. Meski mengaku telah menemui Kapolresta Surakarta belum lama ini, namun Kuasa Hukum PB XIII itu belum mengetahui pasti terkait dukungan kepolisian dalam hal pengamanan.

Sebelumnya, PB XIII Hangabehi menyurati sejumlah kerabat Keraton untuk mengosongkan kantor atau kediaman mereka. Surat itu, bernomor 011/PBXIII-KKSH/VIII/2019 tertanggal 26 Agustus 2019 dan didatangi Raja PB XIII.

Menurut keterangan Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Dewan Adat Keraton Surakarta, KPH Eddy S. Wirabhumi, surat tersebut diterima GRay Timoer Rumbai Dewayani, yang tak lain adalah putri Raja PB XIII.

Isi surat itu meminta 14 nama yang tercantum untuk mengosongkan tanah dan bangunan keraton yang dipakai.

Adapun sejumlah nama termaksud, yakni G.R.M. Suryo Bandono/G.P.H. Puger, G.R.Ay. Koes Moertiyah, K.P. Eddy Wirabhumi, G.R.Ay. Koes Supiyah, G.R.Ay. Koes Handariyah, G.R.Ay. Koes Isbandiyah, G.R.Ay. Koes Indriyah, G.R.Ay. Timoer Rumbai Kusuma Dewayani, B.R.M. Bimo Rantas, B.R.M. Adityo Soeryo Herbanu, B.R.M. Sardiatmo Brotodiningrat, B.R.M. Djoko Marsaid, R.M. Djoko Budi Suharnowo, dan K.R.M.H. Bambang Sutedjo. (Kc)

(wd)