Hard News

Peringati Malam Lailatul Qadar, Keraton Surakarta Kirab Tumpeng Sewu dan Lampu Ting

Jateng & DIY

26 Mei 2019 20:34 WIB

Lampu ting yang dikirab dalam prosesi malam selikuran Keraton Kasunanan Surakarta saat tiba di Masjid Agung Surakarta, Sabtu (25/5/2019) malam

SOLO, solotrust.com – Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggelar Hajad Ndalem malam selikuran Pasa Tahun Be 1952 atau tibanya 10 hari terakhir Ramadan. Tradisi turun-temurun ini digelar secara unik dengan melakukan kirab tumpeng sewu dan lampu ting dari Keraton ke Masjid Agung Surakarta, pada Sabtu (25/5/2019) malam.

Malam ini juga disebut sebagai Malam Lailatul Qadar, satu malam penting bagi umat Islam yang terjadi di bulan Ramadan. Lailatul Qadar diyakini datang pada malam 10 hari terakhir Ramadan, diperingati sebagai malam turunnya Al Quran.



Dalam kirab ini, tumpeng sewu dari keraton diletakkan pada ancak cantaka beserta lampu ting yang dibawa para abdi Keraton. Lampu ting tersebut memiliki beragam bentuk seperti replika Keraton Kasunanan Surakarta, Masjid Agung dan lain sebagainya, pada badan lampion bertuliskan Lafaz Allah, untuk menggambarkan terang dalam malam seribu bulan sebagaimana digambarkan dalam Al Quran.

Selama prosesi kirab yang dimulai dari Kori Kamandungan Keraton Surakarta berjalan menuju Masjid Agung Surakarta juga dibunyikan irama gamelan dan tamborin untuk mengiringi langkah para prajurit pembawa lampu ting dan tumpeng sewu yang berisi hasil bumi itu sehingga prosesi ini meriah namun khidmat.

Sesampainya di Masjid Agung, tumpeng sewu itu ditata sedemikian rupa di sekitaran pendopo masjid. Sebelum tumpeng sewu dibagi-bagikan, dilakukan doa bersama terlebih dahulu oleh ulama, doa tersebut dilambungkan untuk Keraton dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diujubkan melalui tumpeng sewu tersebut, setelah disoakan sebelum para prajurit kembali ke Keraton Surakarta tumpeng itu dibagi-bagikan kepada setiap orang yang berada di tempat tersebut. Kesakralan pun kental trasa selama prosesi doa bersama di Masjid Agung dengan adanya prajurit penjaga engan membawa obor membentuk barisan memanjang disepanjang pintu masuk masjid, tentu saja pemandangan ini tidak bisa ditemui di hari biasa.

Bagi sebagian kalangan masyarakat, tumpeng sewu menjadi simbol keberkahan. Oleh sebab itu tak sedikit masyarakat yang ingin mendapatkan nasi tumpeng tersebut. Seperti dirasakan oleh Kurniawan (37) warga Pajang, Laweyan yang sengaja datang bersama anak isterinya datang untuk melihat prosesi Malam Selikuran. Selain mengenalkan tradisi Jawa kepada anaknya, ia juga mengharap berkah kepada Allah dengan turut memperingati malam 10 hari terakhir Ramadan ini.

"Ini dapat tiga nasi, mau kami bawa pulang untuk makan di rumah nanti. Isinya ada nasi, telur sama sayur. Semoga membawa berkah karena sudah didoakan oleh ulama, saya dua kali ini datang di malam selikuran keraton, tahun kemarin kan di Sriwedari,” ucap Awan.

Sementara itu, Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta KGPH Dipokusumo menuturkan, tradisi ini sudah dilakukan sejak zaman Sunan Kalijaga saat menyebarkan agama Islam di Jawa dan dilestarikan hingga sekarang.

"Tradisi ini sudah ada sejak zaman Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam di Jawa, diteruskan oleh Raja Mataram Islam, Sultan Agung dan masih dipertahankan hingga sekarang," terang dia.

Menurutnya, kirab tumpeng sewu merupakan wujud syukur raja atas berkah yang dilimpahkan oleh Allah SWT, dan sebagai bentuk perhatian raja kepada rakyatnya, tumpeng sewu dari keraton kemudian turut dibagi-bagikan kepada masyarakat setelah didoakan.

”Tumpeng ini merupakan simbol rasa syukur atas kemurahan Allah memberikan berkah,” ungkapnya.

Gusti Dipo menambahkan, bila tidak ada persoalan terkait lokasi penyelenggaraan prosesi malam selikuran karena berbeda dari tahun lalu yang dilaksanakan di Sriwedari, sebab penyelenggaraan malam selikuran sejatinya digelar di Masjid Agung, yang terpenting adalah tak mengurangi kekhidmatan malam Lailatul Qadar.

"Yang jelas baik di Masjid Agung maupun Sriwedari tidak mengurangi makna filosofis yang terkandung dalam prosesi ini. Pada mulanya memang di Masjid Agung, pada masa pemerintahan Paku Buwono (PB) X rute kirab diperpanjang hingga Taman Sriwedari. Toh sekarang di sana (Sriwedari) juga sedang diadakan pembangunan," pungkasnya. (adr)

(wd)