Ekonomi & Bisnis

Perangi Upal, KPw BI Solo Gencar Edukasi & Sosialisasi CIKUR

Ekonomi & Bisnis

23 Maret 2019 07:02 WIB

Pihak KPw BI Solo gencar melakukan edukasi untuk mengenali uang palsu. (solotrust-rum)

SOLO, solotrust.com - Bank Indonesia terus berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk mengatasi peredaran uang palsu (upal). Hal itu terkait terbongkarnya pabrik upal di Sleman, Yogyakarta beberapa waktu lalu yang memproduksi upal senilai 4,6 miliar.

Baca juga : Polisi Bongkar Produksi Uang Palsu di Sleman Senilai Rp3,5 Miliar

Kepala Tim Sistem Pembayaran Pengelolaan Uang Rupiah dan Layanan Administrasi (SPPURLA) Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Solo, Bakti Artanta mengatakan, pihaknya telah melakukan kerja sama dengan beberapa pihak seperti aparat kepolisian dalam menangani peredaran upal.



"Kami Bank Indonesia berkoordinasi. Makanya beberapa waktu lalu kita membuat semacam perjanjian kerja sama di Polda Jawa Tengah dengan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah terkait dengan penanganan tindak pidana uang palsu," tuturnya kepada awak media, belum lama ini.

Selain bekerja sama dengan pihak berwenang, KPw BI Solo juga gencar melakukan sosialisasi dan edukasi ke berbagai lapisan masyarakat. Agar terhindar dari upal, masyarakat cukup mengenali keaslian uang rupiah dengan 3D (Dilihat, Diraba, dan Diterawang).

"Karena biasanya kualitas uang palsu itu masih jelek, didekati dengan 3D itu masih bisa. Kalau nanti naik ke level 2 pakai loop atau sinar X. Tapi untuk kasus di Sukoharjo, Karanganyar, dan Sragen dengan 3D saja cukup," paparnya.

Edukasi Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah (CIKUR) salah satunya melalui agenda kunjungan yang menyasar siswa sekolah menengah hingga perguruan tinggi yang diadakan rutin. Sosialisasi CIKUR juga dilakukan melalui kerja sama dengan Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo). Beberapa waktu sebelumnya pihaknya menggandeng Perbarindo Wonogiri mengedukasi para teller-teller BPR.

Saat ditanya apakah peredaran upal ini berkaitan dengan tahun politik di 2019 ini, Bakti mengaku, rata-rata alasan yang dikemukakan tersangka adalah karena faktor ekonomi. Contohnya di Yogyakarta di mana salah satu tersangka mengaku terlilit utang.

"Saya tidak mau menarik ke situ (politik). Betul, selalu itu, selalu permasalahan ekonomi bukan politik atau apapun," tandasnya. (Rum)

(way)