Pend & Budaya

UNS Gelar Dialog Publik Tangkal Penyebaran Hoaks Dalam Ajang Pemilu

Pend & Budaya

23 Februari 2019 14:06 WIB

Dialog publik Solo Pemilune Guyub Rukun tanpa Radikalisme, Intoleransi, dan Terorisme di Aula FISIP UNS, Jumat (22/2/2019) siang.

SOLO, solotrust.com – Menjelang hari pemilihan presiden (pilpres) 2019 dan seiring berlangsungnya debat terbuka capres – cawapres yang dapat disaksikan seluruh publik, tensi politik pun semakin meningkat dan dinilai rawan diwarnai berita palsu (hoaks), fitnah hingga politisasi SARA yang menjatuhkan Paslon lawan yang beradu dalam kontestasi politik ini.

Hal itu membuat Unversitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tak ingin tingggal diam. Civitas akademika pun membuat dialog publik bertema “Solo Pemilune Guyub Rukun tanpa Radikalisme, Intoleransi, dan Terorisme” yang diselenggarakan di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS pada Jumat (22/2) siang.



Acara ini dihadiri oleh sejumlah pembincara yang berkompeten di bidangnya diantaranya staf ahli Menkopolhukam, Sri Yunanto, guru besar FISIP UNS, Hermanu Joebagio, dan pegiat media, Blontank Poer.

Sri Yunanto dalam dialog menyampaikan, ada enam potensi kerawanan dalam Pemilu 2019 yang harus diwaspadai, yakni politik identitas (SARA), hoaks dan propaganda, money politics, sabotase dan terorisme, serangan cyber, dan perselisihan hasil pemilu.

“Dalam masa-masa kampanye ini kita kerap disajikan muncul berita hoaks dan fitnah yang memperkeruh persatuan bangsa. Memprihatinkannya lagi pendekatan politik dilakukan secara massif di tempat-tempat ibadah di Jakarta. Fenomena seperti ini dapat diketahui dari sejumlah surat seruan di tempat ibadah yang mana di kop surat tertera dari salah satu partai politik.

“Di Jakarta riuh sekali, levelnya sudah nauzubillah, kata-kata kasar terlontar. Lalu, tempat ibadah yang merupakan sarana umum dijadikan tempat untuk menggalang kekuatan politik. Ajakan ibadahnya memang bagus. Tapi tidak harus ada embel-embel Paslon,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Hermanu Joebagio menuturkan seorang pejabat publik haruslah memenuhi beberapa kriteria, agar para pemilih bisa menggunakan rasionalitas dalam menentukan pilihan. Kecerdasan dalam memilih pemimpin masa depan tidak ada hubungannya dengan orientasi suku, agama dan ras (SARA).

“Pertama, pejabat publik berkewajiban untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Yang kedua, pejabat tersebut harus memiliki sikap ramah dengan warga, dan selalu memberikan pesan-pesan kedamaian,” terang professor yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Pengamalan Pancasila UNS itu.

Sementara itu, Blontak Poer selaku pegiat media dalam dialog itu membeberkan pengalamannya menemui orang yang pernah bekerja sebagai pembuat fake account di media sosial. Yang mana tujuannya tidak lain tidak bukan ialah untuk propaganda politik dan menebar hoaks di masyarakat.

“Untuk mempropaganda masyarakat, segala cara dilakukan tanpa memperdulikan dampaknya. Dan itu mengerikan,” bebernya. (adr)

(wd)