Hard News

Kisah Pendeta Jayeng Merawat Orang-orang Gangguan Jiwa

Jateng & DIY

10 Oktober 2017 22:54 WIB

Pendeta Barnabas Jayeng Surono saat berkebun bersama para pengidap gangguan jiwa. (Solotrust.com/Safrudin)

SRAGEN, Solotrust.com - Bagi sebagian masyarakat, kehadiran orang pengidap gangguan kejiwaan yang berkeliaran di jalanan sangat mengganggu, tapi tidak bagi Pendeta Barnabas Jayeng Surono. Pendeta di GPDI (Gereja Pantekosta di Indonesia) ini justru merawat orang gangguan jiwa tersebut supaya kembali normal. 
 
Pada tanggal 10 Oktober, yang bertepatan dengan peringatan Hari Kesehatan Jiwa Nasional 2017 Pendeta Jayeng kembali mendapat perhatian terutama dari kalangan pers dan pegiat sosial di Sragen. 
 
Suasana pedesaan di Dukuh Tanggung, RT 2 Desa Pilangsari Kecamatan Gesi yang berada di kawasan utara Kabupaten Sragen memang jauh dari keramaian. Di Tempat tersebut berdiri gereja yang dipimpin Pendeta Barnabas Jayeng Surono. 
 
Dalam keseharian, pria yang biasa disapa pak Jayeng atau Pendeta Barnabas oleh warga sekitar ini tidak hanya mengurusi soal ibadah, tapi dengan keikhlasan dan penuh kasih, dia merawat orang sakit jiwa yang terlantar di jalanan.
 
”Dalam ajaran agama terdapat tuntunan untuk mengasihi orang lain seperti mengasihi diri kita sendiri,” ujarnya saat ditemui di sela sela kegiatan olahraga dan berkebun para warga yang dirawatnya.
 
Jayeng menyebut, sudah semenjak 2007 dia merawat orang gangguan jiwa. Awalnya ia merawat pengidap gangguan jiwa di belakang rumahnya. Dengan kesadaran dia merawat selama 2 hari 2 malam seperti memandikan dan memotong rambutnya. Selanjutnya dirawat selayaknya keluarga. Sayangnya, orang tersebut pergi tanpa pamit dan hingga saat ini belum bertemu kembali.
 
Sejak saat itu, jika bertemu dengan orang sakit jiwa, diajaknya ke rumah dan dirawatnya dengan baik. Orang sakit jiwa yang ada pun silih berganti – keluar masuk perawatan Pendeta Barnabas. Kini di rumahnya ada 9 orang yang direhabilitasi. Total sejak 2007 sudah ada 26 warga sakit jiwa yang dirawatnya.
 
Sekarang sejak pertengahan 2014 upaya merawat orang gila sudah berubah menjadi Lembaga Kemasyarakatan Sosial Panti Rehabilitasi Sehat Waras Sejahtera. Tidak hanya mengajak orang gangguan jiwa di jalanan, tapi ia juga sering mendapat kiriman dari Dinas Sosial, Satpol PP maupun dari rumah sakit.
 
Dia menjelaskan para pasien yang dikirim dari dinas sosial ke rehabilitasi sebagian besar kondisinya sudah parah. Banyak yang telah lama menjalani terapi dan pengobatan secara medis. ”Kalau disini tidak menggunakan obat, saya terapi hanya menggunakan doa dan saya minta mereka untuk puasa seminggu dua kali hari Selasa dan Sabtu,” tuturnya pada wartawan.
 
Pengalaman tidak mengenakkan pernah dia alami , yaitu saat salah satu warga binaannya mengamuk dan membawa arit hampir membacok kepalanya. Beruntung masih bisa ditahan dengan tangannya, meski mengakibatkan tangannya robek hingga dijahit 15 jahitan.
 
Selain itu dia menjelaskan untuk pasien yang masih dalam perawatan diajak hidup normal. Mulai bekerja di sawah, mencabut rumput, memasak hingga bermain sepak bola. Mereka juga diajari berdoa agar lekas sembuh.
 
”Ketika awalnya saya doakan dan minta pada Tuhan agar tunduk sama saya, dan itu terjadi, setelah itu saya mandikan dan bersihkan badannya dia nurut,” ujar pria berusia 48 tahun ini.
 
Terkait biaya merawat orang gila ini, Pendeta Barnabas mengatakan dari biaya pribadi dan donator. Bantuan dari Dinsos juga ada namun tidak terikat. ”Pas Banjir di Jenar dulu kami tidak dapat, dialihkan kesana,” ujarnya.
 
Sementara itu istri Pendeta Barnabas Hana Eni Ekowati mengatakan kondisi mereka saat baru pertama kali datang sangat memperihatinkan. Kondisinya yakni rambut gimbal dan tidak terawat. ”Dimandikan selama seminggu itu bau badannya tidak hilang, menggosok badannya pun tidak cuma sabun tapi juga pakai sikat,” ujarnya.
 
Hana yang juga membantu merawat orang gila mengatakan dari Sragen sedikit, justru banyak dari luar kota Seperti Bandung, Solo, Klaten dan Ngawi. Namun setelah dirawat mereka bisa diajak bersosialisasi, bahkan dicarikan keluarga aslinya untuk dikembalikan.

(Redaksi Solotrust)