Hard News

Keluh Kesah Keluarga Putu Wijaya di Atas Panggung Teater

Jateng & DIY

24 Februari 2018 08:44 WIB

Salah satu adegan panggung monolog berjudul "Oh". (solotrust.com/mia)

SOLO, solotrust.com- Sastrawan ternama Putu Wijaya mengajak anak serta istrinya, Taksu Wijaya dan Dewi Putu Wijaya tampil dalam satu panggung monolog berjudul "Oh" di Teater Kecil ISI Surakarta, Jumat (23/2/2018) malam. Dalam pementasan tersebut, sekeluarga ini mencurahkan kegelisahan mereka atas kondisi sosial-politik yang tengah terjadi saat ini.

Pementasan monolog "Oh" ini merupakan adaptasi dari cerpen karya Putu yang dimuat di majalah Gatra. Cerpen tersebut kemudian dibukukan dengan judul "100 Monolog". "Oh" sendiri mengisahkan tentang sebuah pergolakan batin atas kehidupan yang dirasakan seorang pengacara muda, ambisius dan idelis yang diperankan oleh Taksu Wijaya.



Suatu hari, Taksu dikisahkan mengunjungi ayahnya (Putu Wijaya) yang sudah tua dan tergolek lemah di atas kursi roda. Dengan bangga, Taksu memperkenalkan sang ayah sebagai pengacara senior yang hebat kepada penonton.

"Kau fenomena empat zaman yang selalu mengajarkan aku untuk menerima kenyataan. Ini hasilnya. Akulah ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi," kata Taksu.

Taksu lantas berkeluh kesah kepada orang tuanya tentang keputusan yang diambilnya. Mimik wajah sang ayah berubah serius menyimak kata-kata anaknya. Taksu memberi tahu ayahnya bahwa ia sedang mendapatkan tugas dari negara untuk membela seorang bandit kakap yang terancam hukuman mati.

Hati kecilnya menolak, namun kenyataannya ia menerima tawaran itu. Taksu mengatakan yakin akan menang karena negara belum punya cukup bukti untuk menyeret bandit itu ke pengadilan.

Seperti dugaannya, sang penjahat bebas, rakyat pun marah. Sang pengacara muda akhirnya diculik dan tewas di tangan massa. Ayahnya yang sudah tidak dapat berbicara lagi itu hanya sanggup terisak dan menjerit dengan suara seraknya. Di ujung cerita, arwah pengacara muda berdialog singkat dan berduduk bersimpuh di kaki ayahnya.

Menyaksikan lakon ini rasanya Putu Wijaya bersama kelompok teater yang dipimpinnya, Teater Mandiri ingin menyuguhkan penampilan menghibur sekaligus menyampaikan pesan kekinian. Salah satunya bahwa kalau belum cukup bukti jangan coba-coba menyeret bandit ke peradilan. Selain itu, pentas ini juga menyoroti bagaimana pandangan kebenaran dan keadilan yang menjadi bias bergantung pada orang yang mengatakannya.

Pentas monolog tersebut lengkap dengan dialog bernas yang kadang lucu kadang sarkastik. Musiknya ditata rapi, demikian juga tata busana dan cahaya yang ditangani dengan apik. Tak heran, pertunjukan ini pun disambut tepuk tangan gempita dari penonton yang memadati Teater Kecil ISI Surakarta. (mia)

(wd)

Berita Terkait

Berita Lainnya